11 Februari 2010
MEMBACA PAHLEVI, DAVE SKY, EMA, DAN DONI
Oleh : Heri Maja Kelana*
Belakangan ini saya senang memperhatikan tingkah orang-orang yang berada di sekitar tempat saya beraktivitas. Ternyata tingkah ternyata tingkah orang itu sangatlah beragam, walaupun keberagaman itu tidak lepas dari orang-orang sebelunya. Dalam bahasa Yasraf adalah meme (Genetik). Gen ini yang membuat sastra bertahan sampai sekarang. Bukan hanya itu, gen juga turun lewat bahasa. Bahasa tentunya tidak lepas dari konteks sosial dan kaidah yang sedang terjadi. Banyak sekali penyair yang mengeksplorasi bahasa, dari mulai Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, sampai generasi sekarang yang ada di majelis sastra ini. Mereka mempunyai ciri dan identitas sendiri lewat bahasa yang dipakainya. Misalnya;
SANG HAI
ping diatas pong
pong diatas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakmu merancap nyaring
(sajak SANG HAI (1973), Sutardji Calzoum Bachri)
Walau bagaimanapun SANG HAI ini dikatakan sebuah puisi. Atau puisi Sitor Situmorang;
MALAM LEBARAN
bulan di atas kuburan
Ini juga sebuah puisi. Sebenarnya masih banyak lagi penyair yang mengksplorasi bahasa dan bentuk dalam karyanya. Bagi saya pribadi, penyair yang bermain dengan bahasa dan bentuk ini haruslah melalui tahap konvesional. Maksud saya begini, sebelum penyair bermain dengan bahasa dan bentuk, mereka harus tahu dan faham dengan bahasa dan bentuk itu sendiri. Walaupun keyakinan saya juga mengatakan pasti setiap penyair mempunyai konsep untuk menulis puisi. Apabila tidak mempunyia konsep, terkutuklah penair itu.
DENDAM
Bulan kini bertangiskan nanah
Para setanpun tertawa melihat diri ini tergeletak lemas
Kuteguk air penghangat
Dan ku teriakkan …………
Kuperintahkan untuk hancurkan
Hancurkan………….
Hancurkan………….
By. Reza
Bahasa adalah mendia untuk menulis karya sastra, terutama puisi. Pahlevi belum mampu memberikan satu diksipun kepada saya sebagai pembaca untuk dapat meningkatkan libido-libido sastra pada diri saya. Atrinya dalam segi bahasa belum ada kekuatan atau hal-hal yang ditawarkan kepada pembaca. Seharusnya Pahlevi harus suntuk dan khusuk lagi bergulat dalam bahasa.
SANG WAJAH
Cermin seperti berkaca
Makhluk apakah aku?
Cermin menangisi adanya
Melihat sang wajah suram
Kosong, penuh teka-teki
Haruskah dia memecahkan diri?
Muak dengan sang wajah,
Marah, benci
Dia tak bisa
Emosi itu bukan miliknya
Kata-kata bukan tuannya
Seringai sang wajah membuatnya tak berkutik
Bisakah dia memecahkan sang wajah?
(Sang Wajah, karya Ema)
Ema bermain pada logika bahasa. Ema juga membuat beberapa metafora, namun metafora-metafora yang diciptakan Ema belum kuat, “Sang Wajah” misalnya. Metafora “Sang Wajah” sudah menjadi metafora yang mati. Metafora yang mati ini maksudnya sudah menjadi konsumsi publik, seperti dalam bahasa sehari-hari, bahasa sinetron, dan lirik lagu. Sebenarnya sah-sah saja penyair membuat metafora yang sudah menjadi konsumsi publik atau yang sudah aus, bagi siapa saja yang ingin karyanya biasa-biasa saja.
TEH
rasa segala teh
dari teh terus teh terus lalu senin
selasa
rabu
kamis
jumat
sabtu
–
minggu,
dapatkah sisanya teh ?
(Teh, @dave sky)
Ada permainan bentuk yang ditawarkan oleh Dave Sky. Permainan bentuk ini mengingatkan saya pada puisi “WINKA SIHKA” Sutardji.
Tentang Rindu
kau berjalan seperti senja yang lupa mengeja
pasir dan langit.
di mana gadis cilik mengukir namanya di sana
langit menunggu senja membisik pasir
dan pasir menunggu langit menjabat senja
: inikah rindu itu?
Bogor, 210409
(Tentang Rindu, Doni P. Herwanto)
Doni telah berhasil mengubah pengalaman empirik menjadi larik-larik puitik. Walaupun secara tegas saya katakan bahwa konsep rindu yang ditawarkan doni belum berhasil. Saya tidak mendapatkan apa-apa dalam sajak ini. Doni harus lebih khusuk lagi mengakrabi tema-tema yang dibautnya.
Dari semuanya itu, saya pun memberikan suatu pandangan terhadap puisi yaitu teks hasil dari pengalaman hidup manusia yang diserap oleh organ tubuh, sehingga melahirkan suatu pemikiran yang baru. Pengalaman hidup manusia ini dibagi menjadi lima bagian yaitu;
Pengalaman empirik
Pengalaman empirik adalah pengalaman pribadi. Pengalaman ini menjadi pengalaman yang subjektif karena setiap orang memiliki pengalaman dan kadar rasa yang berbeda. Misalkan pengalaman putus cinta Amran dengan Utis akan berbeda, kadar kesakitannya pun akan berbeda.
Pengalaman Sosial
Pengalaman sosial adalah pengalaman hidup bermasyakat. Masyarakat ini tentunya berbeda, ada masyarakat kota dan desa. Kedua masyarakat itu mempunyai aktivitas yang berbeda, sehingga memberikan suatu pengalaman yang berbeda pula.
Pengalaman Mitos atau Legenda
Pengalaman mitos atau legenda ini akan menjadi refresentasi dari sebuah kebudayaan. Jawa Barat mempunyai legenda Sangkuriang dan Sumatra mempunyai legenda Malin Kundang, ditambah lagi dengan kekuatan-kekuatan orang-orang sakti yang bisa terbang atau menghilang. Secara langsung atau tidak langsung hal itu mempengaruhi pengalaman kita.
Pengalaman Sejarah
Pengalaman sejarah ini adalah pengalaman yang tidak pernah habis. Satu detik kebelakang adalah sejarah. Sejarah ini yang selalu menginspirasi penyair untuk menuliskan sebuah puisi.
Pengalaman Imajinasi
Pengalaman ini sangat berkaitan sekali dengan sastra. Ada yang dinamakan imaji yang liar dan imaji yang dangkal. Imajinasi juga bisa menjadi sebuah teknik untuk membuat sebuah karya (puisi).
Walau bagaimanapun saya memberikan satu apresiasai lebih terhadap Pahlevi, Dave Sky, Ema, dan Doni yang di zaman sekarang masih bisa menyempatkan menulis sastra. Terlepas dari karya sastra yang ditulisnya itu baik atau tidak. Seperti yang sudah saya tulis dari lima pengalaman hidup manusia di atas, keempat penyair ini mempunyai pengalaman dan ruang yang berbeda. Hal itu akan mempengaruhi terhadap karyanya. Modal terpenting adalah semangat, kemudian ditunjang dengan bahasa serta kepekaan seorang penyair terhadap lingkungan. Selamat berkarya kembali, begitupun dengan saya akan memperhatikan tingkah laku orang-orang di sekitar saya beraktivitas. Salam.
*penyair
Tinggalkan komentar